Entri Populer

ARTIKEL

MENUNTASKAN PERAN PENDIDIKAN DALAM KRISIS  MORAL ANAK BANGSA
Oleh: Drs. H. AKHMAD NURHADI, S.Pd., M.Si.,             
Pengawas Dikmen Dinas Pendidikan Kab. Sumenep



PENDAHULUAN
            Krisis moral merupakan benih yang ditaburkan anak bangsa sehingga  pada gilirannya mereka menuai krisis multidimensi. Tentu saja tesis ini dapat diletakkan sejajar (bukan: frontal) dengan tesis Arief Budiman, Barbara Hatlay, dan Damien Kingsbury yang memberikan pernyataan: “Krisis ekonomi Indonesia melahirkan krisis politik.” (Arief Budiman, dkk., 2000:viii).
            Memang sederet nama   pakar mancanegara dan domestik  ambil bagian dalam memberikan pembahasan tentang krisis di Indonesia di antaranya adalah: Arief Budiman, Barbara Hartlaya, Damien Kingsbury, Harold Krouch, David Bourchier, Markus Mietznes, Gerry van Klinken, Todung Mulya Lubis, Mas Achmad Santosa, Timothy Lindsey, termasuk Dr. Ir. Sudarsono H., M.A. dan H.A.R. Tilaar. Nama yang terakhir ini menulis buku: Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: dalam Perspektif Abad 21.
            Sintesisnya adalah krisis moral (dengan fenomena: korupsi, kolusi, dan nepotisme) melahirkan krisis multidimensi (krisis: ipoleksosbudhankam=ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pentahanan keamanan). Krisis menyulut reformasi, sehingga melahirkan reformasi di segala bidang. Reformasi ekonomi, reformasi birokrasi, reformasi politik, reformasi hukum, dan seterusnya (include: reformasi pendidikan). Reformasi pendidikan secara khusus akan diwacanakan dalam teks ini.

AGENDA REFORMASI PENDIDIKAN
            Sistem pendidikan kita  yang terkungkung  sistem kehidupan yang opresif dan tunduk   kepada kekuasaan yang otoriter dan mempedaya (bukah: memberdayakan, membebaskan) rakyat pada gilirannya membawa pada krisis pendidikan. Kita berada dalam paradoks-paradoks sistem pendidikan di antaranya adalah (1) Sisten yang kaku dan sentralistik, (2) Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), (3) Sistem pendidikan yang tidak berorientasi pada pemberdayaan rakyat (Tilaar, 1998:17-19).
            Selanjutnya Tilaar (1998:22) menyampaikan 11 (sebelas) agenda prioritas untuk reformasi adalah sebagai berikut:
            “1.  Pengikisan korupsi, kolusi, nepotisme, dan koncoisme.
              2.  Melaksanakan azas profesionalisme.
              3.  Desentralisasi pengelolaan pendidikan dan kurikulum.
              4.  Peningkatan mutu pendidikan dasar dan penuntasan wajib belajar 9 tahun.
              5.  Peningkatan mutu sekolah umum dan kejuruan.
              6.  Peningkatan mutu dan otonomi perguruan tinggi.
              7.  Pengembangan pendidikan alternatif
              8.  Peningkatan mutu profesi guru.
              9.  Pembiayaan pendidikan yang demokratis.
            10.  Peraturan dan perundang-undangan.
            11.  Pemberdayaan mahasiswa.”

MENUNTASKAN PERAN PENDIDIKAN: KEMBALI KE SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
            Sebagai produk di era reformasi Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan regulasi terhadap bangkitnya sistem pendidikan nasional dari keterpurukan krisis, dalam hal ini adalah krisis moral anak bangsa.
            Secara eksplisit hal tersebut dapat dibaca pada Visi dan Misi Pendidikan Nasional, serta   Strategi pembangunan sistem pendidikan nasional,  tentu saja di samping Dasar, Fungsi, dan Tujuan   pendidikan nasional itu sendiri.
1.      Dasar, Fungsi,  dan Tujuan Pendidikan Nasional
      “Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” (Pasal 2).
      “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupoan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa,kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (Pasal 3).
2.      Visi dan Misi   Pendidikan Nasional
      Visi pendidikan nasional: “Terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara  Indonesia agar berkembang menjadi  manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman  yang selalu berubah.” (Penjelasan atas UURI No. 20/2003)
      Misi Pendidikan Nasional:
                                  a.         mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia;
                                 b.         membantu dan menfasilitasi  pengembangan potensi anak bangsa  secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar;
                                  c.         meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan  kepribadian yang bermoral;
                                 d.         meningkatkan keprofesionalan  dan akuntabilitas lembaga pendidikan  sebagai pousat pembudayaan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman, sikap, dan nilai berdasarkan  standar nasional dan global; dan
                                  e.         memberdayakan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Penjelasan atas UURI No. 20/2003)
3.      Strategi Pembangunan Sistem Pendidikan Nasional
                                  a.         Pelaksanaan pendidikan agama  serta akhlak mulia;
                                 b.         pengembangan dan pelaksanaan kurikulum berbasis kompetensi;
                                  c.         proses pembelajaran yang mendidik dan dialogis;
                                 d.         Evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan yang memberdayakan;
                                  e.         Peningkatan keprofesionalan pendidik dan tenaga kependidikan;
                                  f.          Penyediaan sarana belajar yang mendidik;
                                 g.         Pembiayaan pendidikan yang sesuai  dengan prinsip pemerataan dan berkeadilan;
                                 h.         Penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan merata;
                                  i.          pelaksanaan wajib belajar;
                                  j.          Pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
                                 k.         pemberdayaan peran masyarakat;
                                  l.          Pusat pembudayaan dan pembangunan masyarakat; dan
                                m.        Pelaksanaan pengawasan dalam sistem pendidikan nasional. (Penjelasan atas UURI No. 20/2003)
            Dari rumusan-rumusan di atas dapat diharapkan terentasnya krisis moral anak bangsa secara tuntas melalui system pendidikan nasional. Persoalan yang muncul kemudian adalah implementasinya bagaimana, oleh siapa, dan apa.  Inilah yang barangkali menjadi garapan kita bersama. Tentu saja standar-standar yang telah dipatok pemerintah perlu dijadikan tolok ukur yang disepakati, di antaranya standar

PENUTUP
            Kalaupun realitas dewasa ini memperlihatkan krisis moral anak bangsa belum saja terentas secara tuntas bukan berarti wacana (diskursus) yang terus terkembang menjadi sia-sia.
            Karena bagaimanapun di dalamnya tetap tersimpan suatu pembelajaran (learning), baik individual learning, organizational learning, maupun nation learning. Wallahu a’lam.
                                                                                                            Sumenep, 23 Mei 2010

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief, dkk.. 2000. Harapan dan Kecemasan Menatap Arah Reformasi Indonesia. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Departeman Pendidikan Nasional, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Biro Hukum dan Organisasi Ditjen Depdiknas.

Tilaar, H.A.R., 1999. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional dalam Perspektif Abab 21. Magelang: Tera Indonesia.


 
SELAMATKAN BUDAYA, BANGUN PEMUDA (SANTRI)[1]
Oleh: H. AKHMAD NURHADI,  ketua LESBUMI NU Kab. Sumenep

                Upaya membangun pemuda merupakan keniscayaan, karena masa depan dunia (apalagi cuma bangsa, etnis, atau warga) berada di pundak pemuda.  Di samping itu jelas pemuda masa kini adalah pemimpin masa depan.  “Inna fii yadisysyubbaana amrol ummati wafii iqdaamihim hayaatahaa, sesungguhnya di tangan pemuda  maju mundurnya ummat dan dipundaknya pula hidup dan matinya ummat.”  demikian Mustofa Al-Gulayani  dalam (Lukman, 2004:1). Demikian pula: Syubbaanul yaumi rijaalul ghodi, pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.
                Pemuda adalah harapan bangsa. Pemuda adalah harapan masyarakat. Pemuda adalah harapan orang tua.  Oleh karenanya pembangunan daerah  mutlak perlu memperhatikan pembangunan pemuda.   Pemuda merupakan salah satu subyek sekaligus sasaran pembangunan daerah, maka keterlibatan pemuda dalam pembangunan daerah semestinya diberikan ruang yang proporsional. 
                Pemberdayaan pemuda adalah pembudayaan pemuda.  Pembudayaan dalam arti  eksternalisasi dan internalisasi sistem nilai budaya, sikap mental,  dan mentalitas. Sistem nilai budaya menurut Koentjaraningrat (1987:25) adalah   “terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam  pikiran sebagian besar warga masyarakat  mengenai hal-hal yang mereka anggap sangat bernilai dalam hidup”.      Pemuda yang berbudaya hidup dalam sistem budaya dan menghidupi sistem budayanya. Pemuda yang berbudaya diharapkan mampu memainkan peran yang semestinya harus dilakukan.  Tentu saja budaya Madura adalah identitas pemuda Madura (baca: Sumenep).  Karakteristik budaya Madura dapat diilustrasikan, di antaranya adalah kepribadian santri, karena Islamlah   yang menjadi  basis budaya Madura.
                Santri (Sansekerta: sastri, Jawa: cantrik) dapat berarti melek huruf, atau dapat berarti juga seseorang yang selalu mengikuti gurunya untuk menimba ilmu (Rosyadi , 2004:136). Dengan demikian kepribadian santri  dapat dideskripsikan sebagai  terus terang (terbuka), setiakawan (suka menolong), membela kebenaran (amar ma’ruf nahi munkar), adab (sopan santun), berani, ikhlas, menjauhi hedonisme, tidak materialistik, mentakdzimi bapak-ebbu, guru, rato; sederhana, pekerja keras, dan seterusnya. Pendek kata beriman dan bertakwa, serta berakhlakul karimah.
                Tegasnya nilai-nilai tersebut harus jelas-jelas tercermin dalam keseharian kehidupan pemuda. Sedang  semua proses internalisasi -pada saat yang sama: proses eksternalisasi- nilai-nilai itulah yang disebut sebagai pembudayaan pemuda. Sehingga  pada akhirnya semakin menjadikan eksisnya pemuda Madura (baca: Sumenep). Pemuda yang berbudaya adalah pemuda yang berdaya.
                Terkait dengan pemberdayaan pemuda Madura (baca: Sumenep) beberapa upaya dapat dilakukan oleh pemerintah pada umumnya dan perguruan tinggi pada khususnya. Upaya-upaya yang dilakukan seyognya dapat saling berkelindan, saling berkomplemen, atau saling menyempurnakan.
                Pertama, yang dapat dilalukan pemerintah: (1) pemerintah dapat  memberikan bantuan dana untuk pengembangan pemuda, beasiswa, hadiah, atau penghargaan sesuatu prestasi pemuda salah satu contoh pemberian predikat pemuda pelopor; (2) memberikan bantuan baik berupa dana atau kesempatan pendampingan bagi organisasi pemuda terhadap proyek-proyek yang terselenggara.    (3) pemberian perhatian terhadap tumbuh kembangnya  pergerakan/organisasi pemuda; dan (4)  . Kedua, yang dapat dilakukan oleh perguruan tinggi: (1) pembinaan pemuda/mahasiswa melalui  kegiatan akademik/perkuliahan; (2) pembinaan pemuda/mahasiswa melalui kegiatan penelitian; ( 3) pembinaan pemuda/mahasiswa melalui kegiatan pengabdian pada masyarakat.
                Tentu saja  rumusan upaya-upaya di atas masih dapat dirinci menjadi program-program kegiatan yang pada dasarnya bertujuan untuk penbinaan dan pengembangan pemuda. Pemimpin masa depan adalah pemuda hari ini. Untuk menjadikan pemuda sebagai pemimpin masa depan perlu proses  pembinaan/pengembangan tersebut.
                Akhirnya menafikan eksistensi pemuda merupakan tindakan konyol, bahkan bunuh diri. Masa depan terukir sejak masa kini. Sudah saatnya semua pihak berkolaborasi untuk meniciptakan masa depan yang lebih baik. Masa depan yang kita ukir sejak kini. Wallahu a’lam.
               
DAFTAR PUSTAKA

Lukman, Abdul Djabbar, 2004.  Remaja Hari Ini adalah Pemimpin Masa Depan. Jakarta: BKKBN.
Rosyadi, Khoirul, 2004. Mistik politik Gus Dur. Yogyakarta: Jendela dan Kacamata.
Koentjaraningrat, 1987. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia.

 

[1] Disampaikan pada acara Pelantikan Pengurus Komisariat PMII STKIP PGRI Sumenep di Gedung P & K Sumenep tgl. 14 Januari 2010.

 
UN, SISDIK, DAN SDM
Oleh:  H.Akhmad Nurhadi.

 

Mereka yang buta aksara di abad 21 bukanlah orang-orang yang tidak bisa membaca atau menulis tetapi mereka yang tidak dapat belajar, menanggalkan
pelajaran usang, dan belajar kembali
(Alvin Toffler)


PENDAHULUAN
Ketika  di benak kita mengemuka pertanyaan: Benarkah  penambahan ujian nasional dapat meningkatkan kualitas Sumber Daya  Manusia (SDM)? Maka sederet analog pertanyaan bisa dikembangkan di antaranya:
1.       Benarkah pengurangan/penghapusan ujian dapat miningkatkan kualitas SDM?
2.       Benarkah penilaian  Unjuk Kerja dapat meningkatkan kualitas SDM?
3.       Benarkah penilaian  Sikap dapat meningkatkan kualitas SDM?
4.       Benarkah penilaian  Tertulis dapat meningkatkan kualitas SDM?
5.       Benarkah penilaian  Proyek dapat meningkatkan kualitas SDM?
6.       Benarkah penilaian  Produk dapat meningkatkan kualitas SDM?
7.       Benarkah penilaian  Portofolio dapat meningkatkan kualitas SDM?
8.       Benarkah penilaian  Diri dapat meningkatkan kualitas SDM?
Tentunya jawaban yang dibutuhkan bukan sekedar benar atau salah sebagai skala Guttman dalam angket sebuah proyek penelitian. Dengan demikian mengembalikan kepada konsep sistemik dalam membahas  diskursus pendidikan (inherent: persekolahan) mutlak diperlukan. Hal itu dilakukan  untuk menghindari cara berpikir parsial. Berpikir parsial akan menghasilkan  deretan pertanyaan  kasual, mentah, dan dangkal

PENDIDIKAN (INHERENT: SEKOLAH) SEBAGAI SISTEM
Pendekatan sistemik memberikan fokus, bahwa pendidikan   dibaca sebagai kesatuan komponen. Dengan demikian evaluasi, ujian, atau ulangan merupakan komponen, bahkian indikator  dalam sebuah sistem pendidikan.
Tabel dan Bagan berikut (Muhammad, 2007:7-8) dapat memperjelas kerangka berpikir pendidikan sebagai sebuah sistem.
TABEL:  KERANGKA SEKOLAH SEBAGAI SISTEM

No.
Komponen
Sub-Komponen
1.
 Konteks
1.      Tuntutan pengembangan diri dan peluang tamatan
2.      Dukungan pemerintah dan masyarakat.
3.      Kebijakan pemerintah.
4.      Landasan hukum
5.      Kemajuan IPTEK.
6.      Nilai dan harapan masyarakat.
7.      Tuntutan otonomi.
8.      Tuntutan globalisasi.
2.
Input
1.      Visi, misi, tujuan, dan sasaran.
2.      Kurikulum.
3.      Ketenagaan.
4.      Peserta didik.
5.      Sarana dan prasarana.
6.      Pembiayaan.
7.      Regulasi sekolah.
8.      Organisasi.
9.      Administrasi.
10.  Peran serta masyarakat.
11.  Budaya sekolah.
3.
Proses
Proses Belajar Mengajar
Proses Belajar Mengajar (PBM) meliputi kegiatan
a.       Persiapan
1).  Penyusunan silabus.
2).  Pembuatan RPP
b.      Pelaksanaan (KBM)
c.       ] SDMEvaluasi/Ujian/Ulangan
4.
Output
1.      Prestasi Akademik.
2.      Prestasi Non-akademik.
3.      Angka Mengulang.
4.      Angka Putus Sekolah
5.
Outcome
1.      Kesempatan Pendidikan.
2.      Kesempatan Kerja.
3.      Pengembangan Diri.

Tabel di atas juga  memberikan gambaran, bahwa evaluasi atau ujian tidak dapat dipahami secara terpisah, tetapi harus dipahami dalam kerangka    sekolah sebagai sistem.
Secara visual sekolah sebagai suatu sistem dapat juga dilihat dari Gambar berikut (Muhammad, 2007:9).:

GAMBAR SEKOLAH SEBAGAI SISTEM

Kualitas dan Inovasi






SDM





Konteks           Input                            Proses              Output             Outcome
































 


                                                                                                Efektivitas

Produktivitas
Efisiensi Internal
Efisiensi Eksternal

   Gambar sekolah sebagai sistem di atas semakin memperjelas posisi evaluasi (bahkan include dalam komponen proses).
Dengan demikian dalam pandangan pendidikan secara sistemik ternyata bahwa sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan muara (baik output, maupun outcome) dari semua upaya (implementasi, strategi, regulasi, kebijakan, inovasi, dsb) dalam sistem pendidikan.
SDM yang berkualitas dapat didefinisikan sebagai SDM yang mampu menciptakan kehidupan yang cerdas, damai, terbuka, dan demokratis (Nurhadi, dkk., 2004:1) atau  dengan formalisasi tekstual berbunyi: “…manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan  menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” sebagai yang termaktub pada Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003 (Fadjar, 2003:8).
EVALUASI
            Evaluasi atau penilaian bukan merupakan tujuan, tetapi alat untuk mencapai tujuan (Mulyasa, 2005:62). Pernyataan ini penting dikemukakan untuk menghindari kesalaharahan dalam menanggap. Sebagai alat (bukan satu-satunya alat, pen.), evaluasi merupakan bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penyelenggara pendidikan perlu menyadari mereka tidak hanya bertanggung gugat kepada pemerintah, tetapi juga kepada murid, orang tua, serta masyarakat yang dilayani sekolah (Dharma, 2005:272).
            Secara spesifik evaluasi hasil belajar dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)   dapat dilakukan dengan penilaian kelas (penilaian berbasis kelas=classroom based evaluation), tes kemampuan dasar, penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi (ulangan umum/semester, UN/USEK) benchmarking, dan penilaian program (Mulyasa,2006:258)
            Dengan demikian tampak posisi UN dalam perspektif evaluasi.
UJIAN NASIONAL
 Ujian Nasional (UN) adalah kegiatan pengukuran dan penilaian kompetensi peserta didik secara nasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.
UN bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian hasil UN dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:
a.       pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan.
b.      Seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya.
c.       Penentuan kelulusan peserta didikdari program dan/atau satuan pendidikan.
d.      Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan 
UN   tahun pelajaran 2007-2008 pada jenjang SMP/MTs diberlakukan untuk mata pelajaran Matematika, Bahasa Inggris,  Bahasa Indonesia, dan  IPA.  Jika dibandingkan  dengan tahun lalu terdapat penambahan mata pelajaran IPA. Pada jenjang SMA/MA IPA mengujikan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Matematika,  Bahasa Inggris, Fisika, Kimia, dan Biologi.  Sedangkan jenjang  SMA/MA IPS mengujikan mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Ekonomi, Bahasa Inggris, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi.
            Perlu dipahami bahwa kebijakan diselenggarakannya UN berkaitan dengan berbagai aspek yang dinamis, seperti budaya, kondisi sosial ekonomi, bahkan politik dan keamanan, sehingga akan selalu rentan terhadap perbedaan dan kontroversi sejalan dengan perkembangan  masyarakat. Lebih lanjut  Mulyasa (2005:180) mengatakan: “Kebijakan tersebut merupakan keputusan politikatau politik pendidikan, yang menyangkut kepentingan berbagai pihak. Bahkan dalam batas-batas tertentu dapat dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan.”
            Di samping itu penyelenggaraan UN  berdampak  langsung terhadap kurikulum dan proses belajar mengajar, termasuk di dalamnya kegiatan belajar mengajar. Dalam hal ini sekolah tetap berkewajiban mengawal agar   penyelenggaraan UN tidak menimbulkan reduksi terhadap kegiatan belajar mengajar yang hanya menekankan pada hapalan, drill soal-soal, atau aspek kognitif, sedang aspek afektif dan psikomotorik terabaikan. Sekolah juga harus mengawal agar keseimbangan  antara mata pelajaran yang diUNkan dan diUSEKkan dapat dipertahankan, artinya dapat dihindari terjadinya dominasi perlakuan terhadap  pelajaran yang diUNkan dan perlakuan subordinasi terhadap pelajaran yang diUSEKkan. Demikian juga tuntutan kualitas penguasaan seluruh mata pelajaran   harus tetap  berimbang.
            Kemudian untuk lebih terjaminnya kelancaran penyelenggaraan ujian (UN dan USEK) di sekolah  Peraturan Menteri,    Prosedur  Operasional Standar , dan Panduan Materi Ujian Nasional yang berlaku harus dijadikan acuan.
            Pada akhirnya keberhasilan sekolah berpulang kepada kualitas penyelenggaran  sekolah itu sendiri (konsep School Based Management), tetapi prestasi yang dicapai Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep 5 (lima) tahun terakhir ini dapat dijadikan sebuah refleksi
TABEL
PEROLEHAN NILAI UJIAN NASIONAL  SMP-SMA
DI KABUPATEN SUMENEP
2003-2004 s.d. 2008-2009

No.
Tahun Pelajaran
Nilai Ujian Nasional
Prosentase Lulusan
SMP
SMA
SMP
SMA
1.        
2003-3004
5.55
5,68
96.50
95,12
2.        
2004-3005
5.67
5.68
97,66
95,67
3.        
2005-2006
7,50
7,93
99,01
97,55
4.        
2006-2007
7,96
8,77
99,74
98,73
5.        
2007-2008




6.        
2008-2009




Sumber Data: Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep (2009).

PENUTUP
UN hanya merupakan salah satu upaya standardisasi penyelenggaran  Sistem Pendidikan (sisdik).  Sisdikyang terselenggara secara standar akan menghasilkan sumber daya manusia yang standar pula. Sumber daya manusia yang standar yaitu sumber daya manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan  menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
                                                                                    Sumenep,   Juni  2009



DAFTAR PUSTAKA


Dharma, Agus. (2005). Manajemen Sekolah.Depok: Pusdiklat Pegawai Depdiknas.

Fadjar, A. Malik. (2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas RI.

Muhammad, Hamid, Ph.D. (2007).  Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama.

Mulyasa, E., Dr., M.Pd.. (2005). Implementasi Kurikulum 2004. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

 __________________ (2005). Menjadi Guru Profesional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

__________________ (2006).  Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Suatu Panduan Praktis. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nurhadi, Dr., M.Pd., dkk. (2004). Pembelajaran Kontrekstual dan Penerapannya dalaqm KBK. Malang: 
 
PENJAMINAN MUTU SEKOLAH: SEBUAH PENGANTAR
                Oleh: Drs. H. AKHMAD NURHADI, S.Pd., M.Si.. pengawas sekolah.


               
 PENDAHULUAN
                Descartes (2003:7) berteriak: Cogito Ergo Sum, aku berpikir karena itu aku ada. Zainudin (2008) berteriak Cogito  Allah Sum, aku berpikir karena itu Allah ada.   Kitapun berteriak:  Cogito pendidikan sum. Aku berpikir karena itu pendidikan ada.    
Orang yang mau dan mampu berpikir  akan tercerahkan mata batinnya sehingga tergambar jelas eksistensi pendidikan. Pendidikan akan terus menerus ada dan diadakan.  Bahkan ketika orang berkecenderungan pesimis terhadap dunia pendidikan.   Umat manusia akan terancam eksistensinya,  jika pendidikan diabaikan, kemudian  dalam perkembangan selanjutnya  bahkan memperoleh pendidikan merupakan hak azasi manusia,  demikian Dr. Mansour Fakih (dalam Wahono, 2001:i-xix)
Pendidkan harus tetap diselenggarakan, ketika … lembaga mempunyai wakil berdiam di tahanan karena terjerat korupsi.  Para koruptor memang produk lembaga pendidikan kita, tapi tidak semua produk lembaga pendidikan kita jadi koruptor.
Pendidikan harus tetap diselenggarakan, ketika  psikopat muncul dengan reputasi melakukan pembunuhan paling sedikit 11 nyawa. Psikopat (mungkin: para psikopat) memang produk lembaga pendidikan kita -konon Ryan berijazah SMA- tapi tidak semua produk lembaga pendidikan kita jadi psikopat.
Pendidikan harus tetap diselenggarakan, ketika  pengangguran terdidik semakin membengkak setiap tahun.  Jumlah sarjana yang mengangggur melonjak drastis dari 183.629 orng pada tahun 2006 menjadi 409.890 orang pada tahun 2008 (Kompas, 6/2/2008). Lagi-lagi kita dapat berargumentasi, bahwa memang banyak pengangguran terdidik, tetapi tidak semua produk lembaga pendidikan kita menjadi pengangguran.
Para kyahi, intelektual, dan guru adalah produk lembaga pendidikan kita.
Para politikus adalah produk lembaga pendidikan kita. Indonesia adalah negara dengan 34 Partai Politik peserta Pemilu 2009 (Kompas, 15/7/2008).
Para birokrat juga produk lembaga pendidikan kita. Indonesia terdiri dari sekian kabupaten, Sumenep merupakan kabupaten dengan  sekian kecamatan  
Demikian juga bankir, ekonom, jenderal, peneliti, dst.
Persoalan yang menyertai kemudian adalah bagaimana  melakukan penjaminan mutu terhadap lembaga pendidikan kita. Makalah ini hanya  membahas  pendidikan formal. Walaupun bukan bermaksud menafikan pendidikan informal (terutama masa anak dan remaja)  dan nonformal (terutama masa dewasa)yang  juga memberi  warna terhadap kepribadian seseorang, tetapi kita asumsikan bahwa pendidikan formallah yang member  warna dominan terhadap   kepribadian

UPAYA PENJAMINAN MUTU
                Penjamina mutu adalah proses yang dilakukan oleh satuan pendidikan dalam  pemenahan standar mutu pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan sehingga pelanggan memperoleh kepuasan.   Secara lugas berarti mutu harus dipahami sebagai (1) memiliki kesesuaian dengan spesifikasi yang ditentukan, (2) memenuhi kebutuhan customer  (Depdiknas, 2004:1).
                Jadi upaya penjaminan mutu akan selalu terkait dengan standar-standar yang ditetapkan secara nasional dan sekaligus terkait dengan kepuasan customer. Standar yang dimaksud adalah standar nasional pendidikan, sedangkan customer    yang dimaksud adalah  customer  internal (warga sekolah) dan customer eksternal (primer: peserta didik; sekunder:  orang tua peserta didik; tersier: industri/masyarakat).
                Dengan demikian mutu itu sendiri dapat dipahami  sebagai (Depdiknas, 2000:5) gambaran dan karakteristik menyeluruh dari barang atau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalam memuaskan kebutuhan yang ditentukan atau tersirat.
                Keinginan peningkatan mutu secara gradual menuntut dilakukakannya upaya terus menerus mengupdate pengelolaan sekolah di antaranya  dengan:
Pertama,  upaya pemenuhan standar pendidikan.  Peraturan Pemerintah No.  19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Permendiknaqs yang menyertainya mengamanatkan  perlunya pemenuhan terhadap standar: Kompetensi Lulusan, Isi, Sarana Prasarana, Keuangan, dan seterusnya.
Kedua, selalu meningkatkan penerapan manajemen berbasis sekolah (MBS).  MBS berfokus pada otonomi sekolah dan pengambilan keputusan partisipatif dalam rangka sasaran mutu. Adapun karakteristik MBS  adalah (a) out put yang diharapkank, (b) proses: PBM efek tif, kepemimpinan yang kuat, tenaga kependidikan terkelola efektif, memiliki budaya mutu, memiliki team work yang cerdas/kompak/dinamis, partisipasi warga sekolah/masyarakat tinggi, manajemen yang transparan, mandiri, mau dan ingin berubah, melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan, responsif dan antisipatif terhadap kebutuhan, akuntabilitas, dan sustainabilitas, (c) input: kebijakan mutu, SDM/SDP ready for use, fokus pada customer, mempunyai input manajemen yang memadai  (Depdiknas, 2000:11-20)
Ketiga, upaya mewujudkan sekolah berbasis Information and Comunication Technology       (ICT). Penerapan   ICT  (= TIK=Teknologi Informasi dan Komunikasi) dalam dunia pendidikakan menghasilkan (1) Distance Learning, (2) E-Learning, (3) Online Learning, dan (4)  Computer-based Learning. Pembelajaran yang didukung dan difasilitasi oleh penggunaan TIK itulah yang disebut e-learning (Edukasi, X/2008:8).
Keempat,  upaya menghidupkan jiwa   interpreneurship. Karakteristik kepribadian  interpreneurship adalah (1)  visioner, (2)  berenergi/stamina prima, (2)  berkeinginan sukses, (3)  optimis dan percaya diri,(4)  Toleran terhadap kegagalan, (5)  kreatif, (6)  toleran terhadap ketidakpastian, (7)  tidak mencari kambing hitam (Edukasi, XI/2009:14).
Adapun metode yang ditawarkan dapat berupa metode kisah, metode benchmarking, metode praktik, dsb.     
Kelima, upaya membangun bangsa yang bermartabat melalui pribadi yang berakhlkul karimah. Pembentukan peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dilakukan melalui kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia.  Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral sebagai perwujudan dari pendidikan agama.
Budi Pekerti memang bukan merupakan mata pelajaran tersendiri tetapi seyogyanya diajarkan dengan pendekatan integrasi ke dalam mata pelajaran yang relevan terutaman ke dalam mata pelajaran Pendidikan Agama, PPKn, dan Bahasa Indonesia. Dengan pendekatan ini para guru, mengajarkan substansi mata pelajarannya dengan memberikan nilai-nilai budi pekerti yang terkandung di dalamnya, dengan alasan karena dalam setiap mata pelajaran pada hakikatnya selalu mengandung dua aspek yang tidak dapat dilepaskan antara satu dengan lainnya, yaitu aspek nilai dan aspek materi. Jika para guru telah mengintegrasikan keduanya, maka pada hakikatnya guru itu telah melaksanakan  proses pengajaran dan pendidikan dalam arti yang sebenar-benarnya.
Di sinilah kelemahan para guru kita pada umumnya, yakni lebih mengutamakan pengajaran dan meninggalkan aspek yang justru lebih penting, yakni pendidikan.

PENUTUP
                Pendidikan (inherent: persekolahan) selalu mesti diselenggarakan. Bahkan bukan sekedar diselenggarakan, tetapi selalu disempurnakan. Karena kita sesungguhnya sedang mempersiapkan generasi masa depan. Wallahu a’lam.
                                                                                                                                                Sumenep, 19 Agustus 2008
DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas, 2000. Manajemen Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Direktoran Pendidikan Menengah Umum.
________, 2004. Pedoman Survey Mutu SLTP.  Jakarta: Direktorat Pendidikan Lanjutan Pertama.
Descartes, Rene. 2003. Discourse on Method (diterjemahkan oleh Ahmad Faridl Ma’ruf).  Yogyakarta:    Ircisod.

Edukasi, No. XI Tahun 2008.

______, No. X Tahun 2008.

Kompas, 6/2/2008

______, 15/7/2008

Wahono, Francis. 2001. Kapitalisme Pendidikan: Antara Kompetisi dan Keadilan. Ygyakarta: Insist Press,               Cindelaras bekerja sama dengan Pustaka Pelajar.

Zaenudin, Lalu Muhamad. 2008. Cogito Allah Sum. Yogyakarta: Diva Press.





JANGAN-JANGAN DOSEN ABU NAWAS  ITU MALAH SAYA  SENDIRI
Oleh: Drs. H. AKHMAD NURHADI,S.Pd., M.Si.



Abu Nawas, sebutan asli saya atau sayalah yang menyebut demikian. Jadi jelas tidak terkait dengan tokoh lucu semisal Nasrudin Affandi[1],  Si Kabayan[2], atau Abu Nawas asli[3],   karena yang ini sangat tidak lucu, terutama bagi mahasiswa yang telah melunasi SPP.(Pesan sponsor: Yang belum lunas segera melunsi!, pen.)
Betapa tidak lucunya ketika Abu Nawas menjadi salah seorang dosen terbang[4] di sebuah  perguruan tinggi anu[5], sedangkan  epigonis-epigonisnya mengajar di tempat lain. Bagaimana bisa dikatakan lucu ketika pada perkuliahan perdana mereka masuk kelas, memberi salam, berbasa basi, kemudian:
“Saudara-saudara! Hari ini aku akan menyampaikan orientasi materi mata kuliah Metpen. Apakah Saudara-saudara telah memahami ruang lingkup mata kuliah Metpen?”
“Belumuummm!”, serempak mahasiswa menjawab. Koor. Sementara satu dua mahasiswa menggerutu: Jelas belum lha wong belum diterangkan! Mahasiswa yang lain menangkap gelagat aneh.
“Kalau belum, ya aku akhiri saja. Wassalamu alaikum wr. wb!”, terdengar suara lantang pak Abu Nawas atau epigonis-epigonisnya. Kelas sejenak sunyi. Surprise. Aneh. Tidak logis. Premis mayor, premis minor, dan konklusi tidak kompak. Mahasiswa terlampau heran untuk protes.
Tatap muka dengan dosen Abu Nawas selanjutnya membuat mahasiswa deg-degan. Kejutan apa lagi yang terjadi. Kalimat tanya tersebut terselip di benak hamper seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan. Celakanya, atau untungnya, mahasiswa yang kuliah justeru 100%. Insiden kuliah perdana menjadi  sihir iklan[6] yang menarik mereka, bahkan yang  berbasis malas kuliah sekalipun.
Paragraf selipan: Dipandang dari perspektif frekuensi mengikuti perkuliahan dapat kita klasifikasikan adanya mahasiswa yang malas kuliah  malas belajar di rumah; malas kuliah rajin belajar di rumah; rajin kuliah malas belajar di rumah; atau rajin kuliah rajin belajar di rumah. Kalau saya menggunakan tafsir demokrasi liberal akan saya katakan kepada mahasiswa: Silakan memilih sesuai dengan agama dan kepercayaan msing-msing; tetapi apabila saya gunakan tafsir pedagogis akan saya katakana: Silakan memilih rajin kuliah dan rajin belajar di rumah.
“Ini pertemuan ke dua. Saya akan menyajikan bagaimana kita memahami pengertian ‘masalah’. Apakah Saudara-saudara telah memahami hal tersebut?!”, suara pak Abu Nawas terdengar berwibawa.
“Sudaaahh!!!”, jawab serempak mahasiswa tidak kalah wibawanya. Mahasiswa mengharap dengan jawaban demikian akan membuat pak Abu Nawas berkenen memberikan perkuliahan. Kali inipun mahasiswa  kecele, karena pak Abu Nawas  malah mengucapkan syukur alhamdulillah dan undur diri.
Mahasiswa serta merta mengadakan rapat kelas. Dari diskusi yang sempat memanas  dicapai temuan: Kali ini nalar pak Abu Nawas cukup waras sehingga dia tiba pada kesimpulan logis. Jika mahasiswa sudah merasa paham, maka tidak perlu lagi diberi kuliah. Ini hukum kausalita, logika implikatif: jika-maka.
Bagaimanapun mahasiswa tetap menyusun strategi dan sterategi juga logis. Sehingga ketika pak Abu Nawas pada minggu berikutnya memberikan kuliah tatap muka ketiga. Mahasiswa sudah mempersiapkan diri mereka.
“Assalamu alaikum wr. wb!” , ujar pak Abu Nawas tanpa beban. Ringan.
“Waalaikumussalam!”, jawab mahasiswa serempak dan hormat. Mahasiswa sudah terbiasa menghormati dosen. Agar ilmu yang diperoleh nafi’.[7] Agar ilmu yang diperoleh barokah[8]. Sedikit ilmu  barokah jauh lebih baik dari pada banyak ilmu tapi tidak barokah. Tentu saja yang lebih afdhol[9]  adalah banyak dan barokah. Sebuah maqom yang nyaris istimewa.
Mahasiswa menghormati dosen adalah sebuah keniscayaan. Ini norma agama. Ini norma budaya santri. Bapak,ebbu, guru, rato. Budaya Madura adalah budaya santri. Soal kemudian  realita menyatakan terdapat beberapa mahasiswa dengan penampilan cowboy, ini merupakan semacam budaya tandingan.[10]
Kembali ke strategi mahasiswa.
“Saudara-saudara mahasiswa!  Kali ini sekilas akan aku sampaikan materi PTK atau Penelitian Tindakan Kelas. Dalam bahasa Inggris disebut juga CAR  singkatan dari Classroom Action Research.”, Sejenak Pak Abu Nawas bernapas. Kelihatannya memusatkan pikiran.
“Bagaimana, sudah paham?!”, sebuah kalimat tanya klasik yang biasa keluar dari mulut dosen pada umumnya. Kali ini keluar dari mulut pak Abu Nawas.
“Sudah, paaak!!!”, pekik serempak mahasiswa putri.
“Belum, paaak!!!”,  pekik serempak mahasiswa putra.
Inilah strategi itu.  . Kalau mahasiswa memberikan respon “sudah!” akan diikuti dengan salam berpisah pak Abu Nawas. Demikian juga kalau mahasiswa memberikan respon “belum!” akan diikuti juga dengan salam berpisah. Oleh karenanya  ketika satu kelas tidak bersuara bulat diharapkan pak Abu Nawas akan melanjutkan perkuliahannya.
Kenyataanya strategi inipun gagal. Lagi-lagi pak Abu Nawas tidak berkenan mengajar.
Mahasiswa kembali berapat untuk mendalami kasus: Pak Abu Nawas yang selalu tidak berkenan mengajar. Berbagai argumentasi dikeluarkan. Berbagai disiplin ilmu diterapkan. Berbagai teori, berbagai analisis, berbagai telaah, berbagai…
Konklusi yang dihasilkan jelas sangat beragam maklum saja yang berdiskusi mahasiswa, kalau saja para jenderal perang yang  berdiskusi hasilnya dapat dipastikan hanya satu keputusan:  Maju atau mundur. Musathil maju mundur. Muhal mundur maju.
Mahasiswa –setelah mengadakan pertemuan berkali-kali-  akhirnya menemukan indikasi sebagai berikut ini:
Pertama, pak Abu Nawas tidak mau mengajar,  karena memang tidak mau mengajar.
Kedua, pak Abu Nawas tidak mau mengajar, karena tidak siap bahan, metode, dan nyali.
Ketiga, pak Abu Nawas tidak mau mengajar, karena sebab-sebab triangulasi  sebagaimana tersebut di atas. 
Soal penempatan istilah ‘triangulasi’ ini mahasiswa tidak peduli benar salahnya yang penting gagah. Memang dalam materi kuliah Metodologi Penelitian terdapat istilah metode pengumpulan data dengan menggunakan metode triangulasi yang berarti metode gabungan.
Soal indikasi temuan mahsiswa sebenarnya tidak hanya berlaku untuk pak Abu Nawas. Banyak   dosen   lain juga mengidap ‘penyakit’ tersebut dengan keparahan  yang berbeda. Keterlambatan datang, dan percepatan keluar kelas  dapat dijadikan sebagai  salah satu gejala di samping fenomena dosen membolos.
Barangkali kesimpulan di atas tidak fair sebab masih terdapat banyak faktor yang menjadikan dosen kehilangan selera dan stamina untuk memberi kuliah. Faktor prilaku mahasiswa yang kelewat pasif atau agresif tanpa dibarengi dengan kesantunan  cukup dominan merampas semangat dosen masuk kelas, bahkan faktor kesejahteraan dosen itu sendiri.
Sayangnya faktor-faktor di luar pribadi dosen tidak terexplore dalam rapat mahasiwa. Mungkin saja akan terexplore manakala ada rapat paripurna yang menghadirkan  yayasan, dosen, dan mahasiswa secara paripurna.
Ah, jangan-jangan dosen Abu Nawas itu malah saya sendiri. Jadi jangan ada yang tersinggung. Ini hanyalah sebuah otokritik. Sebuah refleksi untuk perbaikan diri sendiri.  Faidza azamta fatawakkal alallah.


                                                                        Sumenep, 1 Muharram 1340H[11]
                                                                                         29 Desember 2008


[1] Nasirudin Affandi adalah seorang kyai, mulla, atau maulana. Tokoh ini muncul pada cerita 1001 Malam, lucu,  kritis, dan sufis. .Sindiran-sindirannya dapat dibaca pada Hadi WM, Abdul. 1992.  Humor Sufi Sindiran-Sindiran Lucu Nasrudin Affandi  
[2] Si Kabayan adalah  tokoh lucu dongeng    daerah Pasundan, Jawa Barat. Achdiat K. Mihardja mengumpulkannya dalam Si Kabayan,  Manusia Lucu.
[3]  Abu Nawas aslinya sebagaimana Nasirudin Affandi adalah tokoh lucu,  cerdik, dan kritis dalam 1001 Malam
[4] Saya menggunakan istilah dosen terbang untuk para dosen yang mengajar di banyak tempat atau dengan istilah yang lebih nakal: dosen gentayangan.
[5] Anu bisa disebut juga variabel x, y, dst. Jadi tidak ada hubungannya dengan ANU (The Australian National University) yang beralamat di Camberra Australia.
[6] Sihir iklan  saya pinjam dari judul Wibowo, Wahyu. 2005  Sihir Iklan Format Komunikasi Mondial dalam Kehidupan Urban-Kosmopolit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[7] Bermanfaat; fungsional; membawa kebajikan.
[8] Berkualitas; ada tambahan.
[9] Lebih utama.
[10] Tentang budaya tandingan lebih lanjut bisa ditelaah  dalam Hasan, Fuad. 1992. Renungan Budaya. Jakarta: Balai Pustaka (hal. 85)
[11] Tulisan ini terselesaikan bersamaan dengan berita televisi, bahwa jet-jet Israil menghujani jalur Gaza dengan bom dan Penulis merasakan bom itu meledakkan kepalannya. 

 
UPAYA MEMPERKOKOH EKSISTENSI  SEKOLAH MENENGAH DI PESANTREN
Oleh:  H. AKHMAD NURHADI,
Ketua Lesbumi NU Cabang Sumenep.

IFTITAH
            Berhadapan dengan sistem pendidikan nasional (sisdiknas), lembaga pondok pesantren (ponpes, pesantren) dapat  mengambil berbagai pola  alternatif. Jauhari (melalui Fathor Rahman, 2007:33) memberikan 3 (tiga) pola pendekatan: (1). Pola Penggantian Total (Revolutionary Design), (2).  Pola Integrasi (Integrative Design), (3).  Pola Konvergensi (Convergentive Design). Pada umumnya lembaga pesantren cenderung menggunakan pola pendekatan konvergensi.
            Entah berapa persisnya jumlah pesantren  di kabupaten Sumenep, tetapi kalau dikatakan di Kabupaten Sumenep terdapat begitu banyak pesantren, baik kecil maupun besar, orang tidak bakal membantahnya. Fakta di lapangan juga menunjukkan tidak sedikit pesantren yang juga mengelola lembaga pendidikan format, seperti MTs/SMP Islam atau MA/SMA Islam. SMA Annuqayah 3, SMP/SMA Yas’a, SMP/SMA Plus dapat dijadikan sebagai sampel.  Fakta ini semakin menguatkan adanya kecenderungan  pola pendekatan konvergensi dijadikan alternatif pilihan banyak lembaga pesantren.  
            Eksistensi sekolah menengah di pesantren sudah bukan menjadi diskursus lagi, tetapi justru upaya memperkokohnya menjadi sesuatu yang menarik untuk diperbincangkan.
           
STANDARISASI SEKOLAH
            Upaya memperkokoh eksistensi sekolah menengah di pesantren dapat dilakukan melalui standarisasi sekolah. Upaya ini menjadi penting ketika data  di Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep menunjukkan bahwa sekolah menengah di lingkungan pesantren –bahkan  seluruh sekolah menengah swasta- belum tampil sebagai sekolah standar nasional (SSN).
            Upaya standarisasi meliputi pemenuhan standar: SKL, SI, PBM, Tendik, Sarpras, Manajemen, Biaya, dan Penilaian. Sebagai ilustrasi di bawah ini ditampilkan beberapa deskripsi standar (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2007:8-12)
            Deskripsi standar PBM. Guru melakukan perencanaan pembelajaran yang dibuktikan dengan dokumen RPP sesuai denngan KTSP. Guru menggunakan berbagai strategi, pendekatan, metode pembelajaran. Guru melaksanakan evaluasi sesuai dengan tujuan/indikator yang mampu memberdayakan dan meningkatkan efektivitas pembelajaran.  Sekolah memiliki bukti tingkat efektivitas mengajar guru (kejelasan belajar efektif) dan   belajar  peserta didik (semangat, keseriusan, dan kerajinan) di kelas. 
            PBM adalah serangkaian aktivitas yang terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Ketiga  hal tersebut merupakan serangkaian utuh yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
             Sekolah hendaknya selalu meningkatkan komponen PBM di antaranya  terkait dengan: Kesiapan guru, pengelolaan kelas,  metodologi pengajaran,  implementasi CTL, dan penggunaan media.
            Deskripsi standar tendik. Sekolah memiliki tenaga kependidikan (dan tenaga penunjang) professional yang jumlahnya memadai, dengan kualifikasi, kompetensi, dan tingkat kesesuaian  berdasarkan peraturan yang berlaku.
             Sekolah hendaknya selalu mengembangkan kualitas dan/atau kuantitas komponen tenaga kependidikan, seperti guru (termasuk kepala sekolah, karena kepala sekolah adalah guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah),  tenaga pendukung.
            Deskripsi standar  sarpras. Sekolah menyediakan sarana dan prasarana yang memungkinkan tercapainya tujuan sekolah dan tuntutan pedagogis yang diperlukan untuk menjamin terselenggaranya proses pendidikan yang bermakna, menyenangkan, dan memberdayakan sesuai tuntutan karakteristik mata pelajaran, perkembangan dan pertumbuhan kognitif, afektif, dan psikomotor peserta didik.
              Sekolah hendaknya selalu mengembangkan kualitas dan/atau kuantitas komponen  sarana dan prasarana di antaranya:  Ruang kelas, lab, perpus, ruang ks dan wakasek, ruang guru, ruag tu, kamar  kecil siswa, fasilitas pendukung dan media, dan lingkungan
            Deskripsi standar  manajemen. Sekolah menerapkan manajemen berbasis sekolah (MBS) yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, semangat kebersamaan, tanggung jawab, keterbukaan (transparansi), keluwesan (fleksibilitas) akuntabilitas, dan keberlangsungan (sustainabilitas).
              Sekolah hendaknya selalu mengembangkan  dan meningkatkan komponen manajemen sekolah di antaranya: Perencanaan sekolah, implementasi program, pengawasan, dan kepemimpinan
            Deskripsi standar biaya. Sekolah memiliki dana pendidikan yang cukup dan berkelanjutan untuk menyelenggarakan proses belajar mengajar yang bermutu di sekooah. Sekolah menghimpun dana dari berbagai potensi sumber dana. Sekolah mengelola dana pendidikan secara transparan, efisien, dan akuntabel sesuai dengan prinsip manajemen berbasis sekolah, dalam pengalokasian dana pendidikan, sekolah berpegang pada prinsip  keadilan dan pemerataan
              Sekolah hendaknya selalu mengembangkan  dan meningkatkan  komponen keuangan sekolah di antaranya: Sumber dana, alokasi dan penggunaan dana, serta  akuntabilitas penggunaan dana.

KHOTIMAH
            Ketika sekolah melakukan upaya standarisasi  secara langsung atau tidak langsung  berarti juga penerapan manajemen berbasi sekolah (MBS), information and communication technology (ICT), pengembangan interpreneurship, dan pemupukan akhlaqul kariimah.
                                                                                    Sumenep, 27 Nopember 2008

BAHAN  BACAAN

Rahman, Farhor, Menggagas Manajemen Pendidikan Alternatif Berbasis Nilai-Nilai Pesantren. Edukasi, No 08 Tahun 2007.

Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, 2007. Panduan Persiapan Akreditasi Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Depdiknas.

Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.


 
MAHASISWA DAN AGENDA REFORMASI
Oleh: Akhmad Nurhadi,
ketua PC LESBUMI NU Sumenep

            Paling tidak Orde Baru dan Orde Reformasi dapat dijadikan sampel  realitas sejarah bangsa kita bahwa  mahasiswa cukup signifikan dalam menggunakan peran dinamisnya sebagai agen perubahan.
            Setelah mendekati sewindu gerakan reformasi berlangsung, maka sudah tiba saatnya mahasiswa  memberikan penekanan medan perjuangannya pada sisi peningkatan kualitas   mahasiswa itu sendiri, yaitu kualitas untuk hidup dan kualitas untuk bekerja.
            Peningkatan kualitas untuk hidup menyangkut  rekayasa  bagaimana  mahasiswa menjadi manusia yang baik.  Manusia dengan peran individu, peran sosial, maupun peran relijius. Peran-peran ini menuntut kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual.
            Peningkatan kualitas untuk bekerja menyangkut rekayasa bagaimana mahasiswa menjadi pekerja (dalam arti: penghasil, pengubah, pengabdi, dst). Untuk dapat bekerja dengan baik tentunya diperlukan keterasahan kompetensi sesuatu bidang, sehingga terampil dan professional.
            Sesungguhnya peningkatan sisi kualitas hidup dan sisi peningkatan sisi kualitas bekerja tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana mata uang, sisi gambar dan sisi angka tidak dapat dipisahkan. Walhasil kita hidup untuk bekerja dan bekerja untuk hidup.
            Rekayasa peningkatan kualitas hidup dan peningkatan kualitas hidup ini berproses baik di dalam maupun di luar kampus dengan segala aktivitas terpilihnya.
            Dengan demikian mahasiswa tidak terpaku dengan agenda yang bersifat temporer, tetapi dapat mencermati agenda dengan perspektif lebih mendasar dan bernuansa masa depan. Karena bagaimanapun dunia akan selalu berhadapan dengan krisis demi krisis (krisis moral, krisis  ekonomi, krisis energi, krisis flu burung, krisis deman berdarah, krisis kemiskinan, dst)

                                                                                    Sumenep, 14 April 2006
 
MERU(MERA)WAT MOBIL TUA
Oleh:  AKHMAD NURHADI
Pendidikan di Indonesia ( include: Sumenep(?), pen. ) sekarang ini dapat diibaratkan seperti mobil tua yang mesinnya rewel yang sedang berada di tengah arus lalu lintas di jalan bebas hambatan. (Paul Suparno, 2002)

Pernahkah Anda menyaksikan adegan seorang guru berjalan kaki –karena memang hanya punya kaki- kemudian puluhan muridnya baik yang berkendaraan bahkan kendaran bermotor, maupun yang tidak berkendaraan, berjalan atau berjalan sambil menuntun kendaraan agak jauh di belakang sang Guru. Mereka tidak mendahului sang  Guru, karena merasa segan, karena merasa ingin menghormati, karena ingin menghargai, karena ingat petuah ustadz  ngajinya, ingat petuah orang tuanya: bapa’, ebu, guru, rato. ---Betapa tinggi martabat guru. Guru diposisikan di atas derajat raja- . 
Mereka menawari akan membonceng sang Guru  juga tidak berani, kuatir Sang Guru tersinggung, tersentuh harga dirinya. Betapa murid punya sensitivitas, betapa guru punya harga diri tinggi. Inilah kearifan lokal. Inilah akhlakul karimah. Inilah pekerti luhur.
Kalau Anda tidak pernah melihat adegan di atas,  guru-guru senior sekarang pasti  pernah mengalaminya. Demikian pula 30 (tiga puluh)  tahun   silam saat seorang Pak Nur belia memerankan tugas sebagai seorang guru pernah mengalaminya. Memang adegan di atas sungguh-sungguh pernah terjadi di bumi Songeneb.
Kita   tidak bermaksud kembali ke masa silam, karena memang mustahil memutar balik jarum sejarah. Tentu saja dunia fiksi menjadi perkecualian (pernah mengikuti mesin waktunya Joko Lelono atau menonton Lorong Waktu di televisi ?)
Kemudian bandingkan dengan  adegan murid minta rokok kepada gurunya atawa guru minta rokok kepada muridnya, murid menempeleng gurunya atawa guru menempeleng muridnya, atau murid menyerempet gurunya  atawa guru menyerempet muridnya, juga guru mengata-ngatai muridnya gila atawa murid mengata-ngatai gurunya gila.  (dari ungkapan ini bisa ditarik banyak konklusi, apalagi kalau kita baca dengan   semiotics approach). Semoga adegan yang ke dua tidak pernah Anda jumpai walau dalam mimpi sekalipun atau kalau terpaksa Anda jumpai anggap saja mimpi buruk (nightmare).
Hidup dikembangkan dan dimatangkan melalui pendidikan. Kawah Condrodimukonya hidup adalah pendidikan. Ini mengacu pada kisah Tetuko atau Gatotkoco masa kecil. Kalau justru kawah  Condrodimukonya rentan terhadap pengaruh pendinginan (atau pemanasan (?)) global, budaya Dajjal, atau isme-isme Yakjud dan Makjud dapat dibayangkan macam apa  manusia produk pendidikan kita.
Selama ini politik ekonomi  dijadikan  kiblat pendidikan  -malu-malu atau jelas-jelasan-  maka pada saat yang sama   dengan sukacita telah merelakan diri  kita diterkam predator yang bernama kapitalisme. Perangkap kapitalisme semacam ini celakanya bahkan telah mendarah daging menulang sungsum.  Jadi kapitalisme sudah tidak terasa sebagai perangkap atau predator lagi. Buktinya ketika sekolah-sekolah formal, tidak terkecuali Perguruan Tingginya, dituding sebagai industri atau pabrik banyak orang marah (Tahu, siapa yang marah ?!), sementara beaya pendidikan  tetap tinggi.
Walaupun demikina tentu tidak bijak kalau lantas kita menafikan upaya-upaya pemerintah (dan juga swasta) untuk mengembalikan pendidikan kepada khiththahnya, yaitu pendidikan menjadi tanggung jawab pemerntah, orang tua, dan masyarakat.. Prihal khiththoh ini seyogyanya dipahami sebagai pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pendidikan gratis, sementara orang tua dan masyarakat   partisipasinya cukup melalui pajak yang diberlakukan saja. Upaya pemerintah yang dimaksud melalui dana Bantuan Operasional Sekolah, Dana Bantuan Pendidikan, program penyaluran bea siswa pendidikan, Block Grant,  dsb.
Tentu saja upaya-upaya tersebut di atas hendaknya menggugah pihak penyelenggara sekolah untuk sejenak mengesampingkan syahwat kapitalistiknya untuk kembali kepada naluri dasar ( basic instinct, ini bukan judul film yang dibintangi Kim Basenger, lho! )  tenaga kependidikan pada umumnya, khususnya guru yaitu keikhlasan. Kalau malah sebaliknya, maka upaya menggeratiskan beaya pendidikan akan berhadapan dengan semakin digelembungkannya program sekolah, baik dengan muslihat duplikasi   maupun peningkatan (pemahalan!) anggaran pengeluaran sekolah . Kalau fenomena ini yang terjadi, maka sampai kiamatpun upaya menggeratiskan beaya pendidikan tidak akan kunjung berhasil.
Tenaga kependidikan yang ikhlas akan menghasilkan lulusan yang ikhlas. Lulusan yang ikhlas akan membentuk bangunan masyarakat yang ikhlas. Kalau warna keihlasan menjadi kultur dan iklim sekolah tak pelak lagi   walau tanpa mengiklankan keunggulannya secara latah dengan sendirinya akan menjadi unggul dunia akherat. Dari sinilah sebenarnya implementasi pendidikan budi pekerti di sekolah dapat kita mulai.
 Wallahu a’lam.
                                                                                    Sumenep, 15 Pebruari 2007



  
PESANTREN SEBAGAI BASIS  BERKESENIAN[1]
Oleh: Akhmad Nurhadi Moekri, ketua Lesbumi NU Sumenep

PENDAHULUAN

            Hingar bingarnya ditampilkannya  produk kesenian  melalui media massa elektronik maupun media massa cetak yang berorientasi skularisme, sehingga berujung pada selera rendah pasar pada akhirnya menjadi bumerang kepada stakeholders itu sendiri kalau terlalu bombastis dikatakan akan menikam peradaban manusia.
Sejarah telah merekam seni untuk seni (l’art pour l’art) belum pernah  menjadikan bangsa Prancis lebih beradab, demikian juga seni     untuk rakyat justeru menjadikan Uni Sovyet   terbelah.

SENI ISLAMI SEBUAH HARAPAN

                Islam menyaring (bukan: menjaring, pen) seluruh aspek prikehidupan manusia untuk kemudian membawanya menuju puncak peradaban, termasuk di dalamnya aspek seni dan berkesenian.  Perkembangan seni tidak luput dari ideologi Islam sebagai rahmatal lil alamin. Senipun lahir dan terdesain sebagai rahmat bagi seluruh alam. Keindahan yang universal. Keindahan yang agung. Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan (Hadits).  Perkembangan seni di jaman kejayaan Islam dahulu dapat dijadikan sebagai rujukan, bahkan saksi sejarah peradaban manusia.
            Kini ketika akulturasi kebudayaan Barat lebih mendominasi seluruh tatanan global, tak pelak seni pun terkikis nilai-nilai keagungan dan kebenarannya, sehingga yang terlahir kemudian adalah seni yang bermuara pada skelarisme, pragmatisme, kapitalisme. Seni yang demikian jelas tidak bermoral, hedonis, dan profan.     

PESANTREN SEBAGAI BASIS BERKESENIAN
            Pesantren sebagai basis keagamaan dengan santri yang belajar dan kyai yang mengajar jelas merupakan benteng terakhir gempuran globalisasi/westernisasi.  Nilai-nilai keislaman digali untuk kemudian diaktualisasi dalam prilaku sehari-hari. Upaya pengislaman diri secara kaffah berlangsung  secara terprogram dan terkendali.
            Komunitas semacam ini merupakan lahan subur untuk sebuah upaya berkesenian yang Islami. Upaya   terkontrol yang pada akhirnya dapat melahirkan corak seni yang hakiki, terlahir dari kesalehan kinerja (performance) berkesenian.
            Kesalehan kinerja berkesenian di sini mencakup keikhlasan, kejujuran, semngat berkorban, pengabdian, dan sederet karakter idealisasi insan kamil.

PENUTUP
            Ketika semua aktivitas diberikan koridor ibadah, maka upaya berkesenianpun ibadah. Maka dari itu marilah  kita jadikan aktivitas berkesenian kita sebagai ibadah. Juga sebagai dakwah. Wallahu a’lam !
                                                                                    Sumenep, 12 Pebruari 2006




[1] Pokok-Pokok pikiran ini disampaikan pada acara Pembukaan Teater Andalas An-nuqayah Guluk-guluk 13 Pebruari 2006

 
POKOK-POKOK PIKIRAN
REFLEKSI MUHARROM 1427 H
 Oleh: AKHMAD NURHADI, dosen STKIP PGRI SUMENEP

            Paling tidak terdapat 2 (dua) Hadits yang sering mengemuka ketika kita memperingati Tahun Baru Hijriyah.
Hadits 1
Dari Amirul Mukminin Abi Hafsh Umar bin Khoththob r. a. telah berkata: Aku telah mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: “Bahwasanya segala amal perbuatan tergantung pada niat, dan bahwasanya bagi tiap-tiap orang apa yang ia niatkan. Maka barangsiapa yang hijrahnya menuju (keridhoan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu ke arah (keridhoan) Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena dunia (kemegahan atau harta) atau karena seorang wanita yang  akan dikawininya, maka hijrahnya itu ke arah yang ditujuinya.
                                                                                                            (HR Bukhari-Muslim)
Haditis 2
Siapa keadaan hari ini labih baik dari pada hari kemarin, dialah orang yang beruntung; siapa keadaan hari ini sama dengan hari kemarin, dialah orang  yang tertipu; siapa keadaan hari ini lebih jelek dari pada  hari kemarin, dialah orang yang terkutuk.
                                                                                                            (HR. Al-Hakim)
            Kemudian dalam Refleksi Muharrom 1427 H ini akan saya sampaikan 4 (empat) hal sebagai berikut:
1.      Bahwa negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI pada 1979 mencanangkan Abad ke 15 H merupakan Abad Kebangkitan Umat Islam. Setelah 27 tahun apa yang terjadi ?
2.      Bahwa kita seharusnya membudayakan Peringatan Tahun Baru Hijriyah.
3.      Bahwa     peristiwa Hijrah merupakan peristiwa yang sarat makna, di antaranya adalah:
  1. Pengorbanan.
  2. Kehidupan.
  3. Tawakkal
  4. Usaha

Bahan Rujukan:
1.      Contoh-contoh Praktis Pembawa Acara,  Sambutan, Pidato, dan Doa oleh Drs. M. Ali Chasan Umar.
2.      Membumikan Al-Qur’an oleh Dr. Quraisy Shihab.
Sumenep, 30 Januari 2006





      

KARAKTERISTIK PENDIDIKAN (FORMAL) DI SUMENEP DALAM PERSPEKTIF STRATIFIKASI SOSIAL
Olah: Drs. H. Akhmad Nurhadi, S.Pd., M.Si.,
dosen STITA Trate Pandian Sumenep


PENGANTAR
         Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) selalu canggih kalau berurusan dengan tema-tema besar. Paling tidak BEM mempunyai selera humor yang tinggi. Salah satu contoh nyata adalah diajukannya tema: Eksplorasi Karakteristik Pendidikan Sumenep dalam Ranah Aplikasi Sosial untuk diseminarkan tiga hari kemudian lengkap dengan makalahnya. Bagi Pemakalah ini merupakan tugas penuh tantangan. Kalau saja Ia mampu mengesampingkan perasaan merasa dikerjain (Betawi), e co-koco (Madura), atau terdapat misi tersembunyi, misalnya: Balas dendam. Karena dosen sering juga memberi tugas bikin makalah kepada mahasiswa.
Penulis –dengan sedikit menghibur diri−termasuk yang menganggap tugas ini sebagai tantangan. Oleh karenanya segera saja saya membongkar perpustakaan pribadi dan sekaligus berdiskusi dengan Kyai Google. Hasilnya adalah simplifikasi tema menjadi Karakteristik Pendidikan (Formal) di Sumenep dalam Perspektif Stratifikasi Sosial. Saya berharap gagasan ini justru tidak malah menghasilkan keruwetan baru.
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEINDONESIAAN
Karakteristik pendidikan keindonesiaan dapat dirumuskan melalui implementasi dari prinsip penyelenggaraan sistem pendidikan nasional (Depdiknas, 2003:9) sebagai berikut:
1. Demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif.
2. Satu kesatuan yang sistemik.
3. Proses pembudayaan dan pemberdayaan.
4. Memberi keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas.
5. Mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung.
6. Memberdayakan semua komponen masyarakat.


KARAKTERISTIK PENDIDIKAN KEISLAMAN
Tentang karakteristik pendidikan Islam dapat dikutip pendapat (Kutiba, 2011:1) sebagai berikut:
1. Robbaniyah, seluruh aspeknya didasarkan pada nilai robbaniyah dijabarkan dalam Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
2. Syamilah, pendidikan dibangun dengan memperhatikan segala aspek dalam kehidupan baik akal, jasad dan ruh, maupun dalam kerangka hubungan individu dengan masyarakat, alam dan al Khaliq. Tanpa pemisahan.
3. Mutakamilah, Pendidikan tidak terbatas pada tempat tertentu. Berlangsung di sekolah, masjid, rumah, di jalan, di kebun, medan pertempuran bahkan di pasar.
4. Marhaliyah, Seluruh tabiat alam terjadi secara bertahap, demikian pula perkembangan fisik dan psikis manusia. Karena itu pendidikan dibangun dengan sifat bertahap dan mengikuti perkembangan kematangan manusia.
5. Muruunah, dalam aplikasi pendidikan disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang melatar belakangi dan melingkupi obyek dan subyek pendidikan, justru dalam rangka optimalisasi hasil.
6. Istimroriyah, Proses pendidikan tidak mengenal istilah “Usai”. Setiap individu wajib belajar sepanjang hayat (long-life education)
7. Tanmawiyah, memberikan peluang pembaharuan metode dan gaya penyampaian sejalan dengan penemuan dan perkembangan ilmu, selama berjalan pada prinsip-prinsip dasar Islam.
8. Fardhiyah, Islam mewajibkan setiap individu untuk menuntut ilmu. Implikasinya, berarti melibatkan semua pihak untuk mempersiapkan segala perangkat, sarana dan perlengkapan pendidikan sebaik-baiknya.
9. Tathbiqiyah, pendidikan bersifat praktis, artinya setiap ilmu yang diperoleh harus berorientasi pada produktivitas.
10. Hurriyah, pendidikan didasarkan pada kebebasan. Islam tidak memaksakan harus belajar apa dan bagaimana, setiap individu bebas mereguk ilmu apa saja dan sebatas mana saja.
11. Infitah, pendidikan berdasar prinsip keterbukaan. Setiap muslim menyerap ilmu dari mana saja, serta pula mampu memanfaatkan turots (warisan peradaban manusia terdahulu yang bermanfaat)
12. Maslahah, pendidikan dibangun untuk memberikan kemaslahatan ummah, nantinya memberikan kontribusi dalam pendidikan kesejahteraan, kemakmuran dan peradaban ummah. Oleh karena itu pendidikan Islam berorientasi pada nilai manfaat dan mashlahat bagi ummat.
KARAKTERISTIK PENDIDIKAN (FORMAL) DI SUMENEP: SUATU PERSPEKTIF STRATIFIKASI SOSIAL
Kata ‘perspektif’ berasal dari kata ‘prospettiva’ (Itali) yang berarti ‘gambar pandangan’. Dalam konteks makalah ini diberi arti sudut pandang. Memahami pendidikan dari sudut pandang sosial memang tidak dapat dihindarkan. Karena mustahil lembaga pendidikan diselenggarakan di ruang kosong. Pendidikan eksis dalam suatu komunitas masyarakat tertentu. Pendidikan berkembang melalui dinamika masyarakatnya, bahkan ketika pendidikan –baik sebagai sistem atau lembaga− tidak mampu menjalin komunikasi dan korelasi dengan masyarakatnya, maka pendidikan tersebut akan mati. Sistemnya hancur dan lembaganya bubar. Apalagi di abad 21 “... abad yang meminta kualitas dalam segala usaha dan hasil kerja manusia.” (Tilaar, 1998:237). Abad ini adalah abad globalisasi dengan konsekwensi berlakunya persaingan global.
Mengeksplorasi karakteristik pendidikan (Formal) di Sumenep jelas tidak terlepas dari karakteristik pendidikan keindonesiaan dan keislaman. Sebagai konsekwensi −de yure sekaligus de facto− bentuk final NKRI, maka Sumenep merupakan bagian kecil dari Negara Republik Indonesia. Sumenep adalah Indonesia, tapi Indonesia bukan hanya Sumenep. Kemudian kalau kita tilik kultur yang berkembang di masyarakat maka kultur masyarakat Sumenep adalah kultur Madura yang jelas berbasis Iman, Islam dan Ihsan.
Dengan demikian penggalian secara empirik karakteristik pendidikan di Sumenep dalam perspektif stratifikasi sosial selalu dapat dikembalikan pada kultur lokal (Inherent: stratifikasi sosial), keislaman, dan keindonesiaan.
Terkait dengan stratifikasi sosial, walaupun pada awalnya masyarakat Sumenep terbelah secara diametrikal menjadi kelas-kelas (Kuntowidjojo, 2002:217). Ada kelas Sentana atau Ario (kaum ningrat), kelas Mantri (kaum birokrat), kelas Abdi (kaum aparat pemerintah), dan oreng Kenek atau Dumeh (kaum rakyat jelata), dewasa ini masyarakat Sumenep sudah sangat egaliter
Butir-butir berikut dengan gamblang merujuk fenomena di atas:
1. Dari sudut kelembagaan, dapat dijumpai jumlah lembaga (Islam) dan pesantren di kabupaten Sumenep jauh lebih banyak daripada lembaga umum. Ini mencerminkan keberlangsungan transformasi budaya/agama secara berkelanjutan.
2. Dari sudut penyelenggara, dapat dijumpai banyaknya yayasan/perkumpulan di kabupaten Sumenep yang cukup signifikan. Ini mencerminkan besarnya kepedulian masyarakat terhadap pendidikan formal. Apalagi yayasan/perkumpulan tersebut merupakan lembaga nonprofit.
3. Dari sudut biaya pendidikan, dapat dijumpai cukup terjangkaunya biaya pendidikan di kabupaten Sumenep. Hal tersebut terdukung oleh program pemerintah pusat melalu dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOS) untuk SD/MI dan SMP/MTs dan program pemerintah daerah melalui dana Bantuan Biaya Pendidikan (B2P) untuk SMA/SMK/MA. Sehingga muncul sekolah gratis. Juga tersedia beasiswa bagi mahasiswa. Ini mencerminkan perhatian yang sungguh-sungguh dari pemerintah.
Ketidaktersediaan waktu menjadikan makalah di atas miskin data, namun demikian sebisa-bisanya Penulis melengkapi data pendukung dengan seadanya.




DATA SEKOLAH MENENGAH DI KABUPATEN SUMENEP
TAHUN PELAJARAN 2008-2009
No SEKOLAH JUMLAH KETERANGAN
1. TK Negeri
TK Swasta 1
?
2. RA Negeri
RA Swasta ?
?
3. SD Negeri
SD Swasta ?
?
4. MI Negeri
MI Swasta ?
?
5. SMA Negeri
SMA Swasta 9
?
6. MA Negeri
MA Swasta 1
102
7. SMP Negeri
SMP Swasta 38
72
8. MTs Negeri
MTs Swasta 2
232
9. PT Umum Negeri
PT Umum Swasta -
2
10. PT Keagamaan Negeri
PT Keagamaan Swasta -
?
11. Pesantren ?
Sumber:
PENUTUP
Kalau saja unsur kompetisi dan kooperasi dimasukkan sebagai salah satu karakteristik pendidikan di Sumenep, maka unsur kooperasinya lebih mengedepan. Hal itu disebabkan karena masing-masing lembaga pendidikan menganggap mempunyai pangsa pasar sendiri-sendiri.
Di masa mendatang ketika lembaga pendidikan yang ada menawarkan program pendidikan dengan pangsa pasar yang relatif sama, maka kompetisi akan sulit dhindari.
Kompetisi memang tidak perlu dihindari. Menyerahkan keputusan pada kebutuhan pasan dapat dijadikan salah satu alternatif. Pendidikan masa depan adalah pendidikan yang dikelola secara berkualitas dan terjangkau. Lembaga pendidikan yang tidak berkualitas dan atau mahal secara perlahan tapi pasti akan mengubur dirinya sendiri. Wallahu a’lam bishshowaab.
Sumenep, 24 Januari 2011
DAFTAR PUSTAKA


Depdiknas RI, 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Biro Hukum dan Organisasi Setjen Depdiknas, Jakarta.

Kuntowidjojo, Prof., Dr., 2002. Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940. Mata Bangsa, Jogjakarta.

Kutiba, 2011. Agama Islam. http://kutiba.multiply.com/ Accessed: January 23, 2011

Tilaar, H.A.R., 1998. Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21. Tera Indonesia: Magelang.