AKU LIRIK DENGAN METAMORFOSISNYA
Oleh: AKHMAD NURHADI MOEKRI, Ketua Lesbumi NU Sumenep
ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu, mendudukkanmu
di depan cermin, dan membuatmu bertanya,
“tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?”
ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu, menimbang-nimbang hari
hari lahirmu, mereka-reka sebab-sebab kematianmu-
ada yang sedang diam-diam beribah menjadi dirimu
(Metamorfosis oleh Sapardi Djoko Damono)
Walau tidak persis sama dengan aku prosais, misalnya aku dalam cerpen, aku lirik dapat dianalogkan dengan aku prosais. Aku prosais atau aku dalam prosa yang pada teori pengkajian fiksi disebut sudut pandang, viewpoint, point of view (Lubbock) atau fokalisasi, focalization (Genette). Sudut pandang secara garis besar dapat dibedakan atas: sudut-pandang-aku, first-person dan sudut-pandang-dia third-person. Pengarang (baca: penyair) dapat mempergunakan beberapa sudut pandang sekaligus dalam sebuah karya jika hal itu dirasakan lebih efektif
Oleh karenanya ketika penyair mempergunakan sudut-pandang-aku atau aku lirik misalnya, maka aku dapat tampil sebagai persona tokoh lrik atau dapat juga tampil sebagai persona pribadi penyairnya sendiri, bahkan dapat tampil sebagai person campuran (person tokoh lirik dan pribadi penyairnya secara simultan).
Tidak heran kemudian muncul larik-larik aku ini binatang jalang (Khairil Anwar), tapi aku yang bernama sampan (D. Zawawi Imron), Inilah aku, Nurani, pengidap HIV mematikan (Bambang Widiatmoko), aku adalah seorang bocah yang/mengangkangi kekosongan fajar (Ibnu Hajar), aku boneka engkau boneka (Amir Hamzah), akulah bayi sehari/lahir untuk tahu arti mati (Piek Ardijanto Soeprijadi), aku raja hari ini (Mathori A. Elwa), aku sebutir debu (Dinullah Rayes). Aku ingin jadi pohon ketapang yang tumbuh (Subagio Sastrowardoyo), dan akulah si telaga: berlayarlah di atasnya (Sapardi Djoko Damono). Jadi aku dapat saja bermetamorfosis jadi: binatang jalang, sampan, pengidap HIV, bocah, boneka, bayi, raja, sebutir debu, telaga, atau yang lain. Aku dapat bermetamorfosis jadi apa saja.
Bahkan Budiman S. Hartoyo dalam sajaknya yang berjudul Suatu Hari, Bulan Desember mengakhiri puisinya dengan: //Akulah Engkau/Engkaulah /aku//.
Bait tersebut menutup perenungan penyair tentang hubungan aku, alam, dan Tuhan. Sebuah dialog transenden. Keakraban rohani sepenuh gairah dengan Tuhan. Aqrabu ilaihi min hablil warid. Lebih dekat dari urat leher.
Kemudian persoalan apakah aku tampil sebagai person tokoh lirik, person pribadi penyair, atau campuran, tentu saja menuntut semacam pendekatan di ataranya melalui penelusuran proses kreatif ketika sebuah karya dilahirkan.
Namun demikian sering terjadi generalisasi aku selalu ditampilkan sebagai aku lirik. Hal ini berdasarkan pada asumsi, bahwa puisi adalah karya imajinatif yang didramatisasi. Bahkan Wellek sengaja menyingkirkan penyair dari kehadirannya dalam puisi dengan menghadirkan konsep the dramatic I untuk aku liris.
Puisi-puisi di bawah ini mengindiksikan asumsi puisi sebagai karya imajinatif yang didramatisasi sehingga aku lirik mengalami metamorfosis.
…
Asalku dari emas purba
muncul di gerbang sangkakala Sauan Sibarrung
jadi manusia
jadi anjing pemburu
jadi rumpun bambu
jadi babi
jadi sirih pinang
jadi padi
jadi tuak ballo’
jadi kain tenun
jadi kerbau belang
jadi kilat
jadi api
…
(Tana Toraja oleh Ikranagara)
Aku lirik dapat bermuatan makna apa saja: api, kilat, kerbau belang, kain tenun, tuak ballo’, padi sirih pinang,babi, rumpun bambu, anjing pemburu, manusia, … Dalam perspektif paradigma multi interpretable dalam puisi, semakin menanbah kejelasan pemahanan metamorphosis aku lirik dalam puisi.
Kalau aku lirik dapat bermuatan apa saja, demikian juga tentunya kamu lirik, dia lirik, atau mereka lirik. Bahkan setiap kata dalam puisi akan selalu dapat tampil dengan makna ganda melalui proses metamorfosis. Cermati penggalan puisi-puisi berikut:
Semalam ketika aku membaringkan diri di tempat tidur
tiba-tiba aku berubah menjadi perempuan. Dadaku bersusu
dan perutku bercelah
(Malam Penganten oleh Subagio Sastrowardoyo)
Laki-laki bisa berubah jadi perempuan, malam bisa jadi siang, lunak bisa menjadi keras, kejasmanian bisa menggambarkan kerohanian, kenisbian bisa menyarankan kemutlakan, dst. Kata bisa menimbulkan makna multi ganda, kemungkinan-kemungkinan makna yang terduga ataupun tak terduga. Katapun menjadi multy interpretable.
Masih terkait dengan metamorfosis kata (baca: aku lirik) dan dramatisasi imajinasi Piek Ardijanto Soeprijadi menjelaskan: Keadaan literer bisa saja tidak sama dengan keadaan faktual.Apa yang ada dalam kenyetaan hasil tangkapan visual dan/auditif, bahkan yang tactile serta olfactory, dapat dikurangi atau ditambah dalam keadaan literer.
Akhirnya Gertrude Stein semakin memperjelas terjadinya proses metamorfosis dalam puisi dengan ungkapannya yang termasyhur: a rose is a rose is a rose tapi sekaligus a rose is (not just) a rose,( it) is a rose, (but it) is (more than) a rose.
Sekuntum bunga mawar adalah sekuntum bunga mawar adalah sekedar sekuntum bunga mawar; sekaligur sekuntum bunga mawar bukan sekedar sekuntum bunga mawar, ia memang sekuntum bunga mawar, tetapi ia lebih dari sekedar sekuntum bunga mawar.
Aku memang sekedar aku, tapi bisa juga bukan sekedar aku, tapi lebih dari aku. Aku bisa metamorfosis.
Metamorfosis akan selalu menghadirkan diri. Pada mulanya adalah bunga (Kompas, 2008, 8/6: ) …
Pada mulanya adalah bunga: sekuntum doa yang menggigil
di bibir senja. Pada mulanya adalah bunga: kelopak mata
yang mekar di kedalaman rahasia. Pada mulanya adalah
bunga: setangkai cinta yang akan jadi buah. Rindu
menerbangkan kumbang pada luka dan lekuknya. Dan ia
meronta, seperti desah, serupa suluk bahagia. Seribu
kunang-kunang pun bngkit di duli kuningnya, seperti
bayi-bayi cahaya yang menetas dari perut gerhana.
(Metamorfosis oleh Muttaqin)
Sumenep, 8 Juni 2008
Pukul: 21.42